Sabtu, 29 November 2014

UPACARA BARITAN DIENG

Mbah Naryono sedang Membaca Doa
Baritan merupakan salah satu acara tahunan yang diadakan oleh masyarakat Dataran Tinggi Dieng, Khususnya Masyarakat Desa Dieng Kulon. Upacara Baritan ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali, yaitu bertepatan dengan hari jumat terakhir di bulan Sura atau kalau dalam agama islam bulan Muharam.
Dilihat dari arti kata, Baritan merupakan singkatan dari "mbubarake Peri lan Setan" (membubarkan peri dan setan). Sesuai dengan makna kepanjangannya, Baritan merupakan sebuah upacara / ritual yang ditujukan agar masyarakat desa Dieng Kulon terhindar dari Balak dan Bencana, sehingga kehidupan senantiasa aman, tentram dan damai.
Dalam Upacara Baritan, masyarakat desa mengorbankan satu kambing yang mana kambing yang boleh dikorbankan untuk  dipotong harus memiliki ciri khusus yaitu jenis kambing yang memiliki lingkaran corak warna tertentu pada bulu di badannya, atau masyarakat Dieng biasa menyebutnya Kambing Kendit.
Setelah kambing dipotong, selanjutnya dilaksanakan selamatan atau pembacaan doa bertempat disalah satu titik desa. Disana juga disediakan berbacam-macam sesaji atau uba rampe berupa makanan seperti nasi kuning, ayam ingkung, urab, dll yang siap diperebutkan warga setelah selesai pembacaan doa.

Selasa, 25 November 2014

LEGENDA ANAK RAMBUT GIMBAL DIENG

Dieng dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa, aura mistis dan berbagai mitos masih sangat kental terasa dalam kehidupan masyarakatnya. Salah satunya yang paling menarik adalah fenomena anak gimbal ini. Anak gimbal Dieng terlahir normal, sama dengan anak-anak yang lainnya. Pada suatu fase, tiba-tiba rambut mereka berubah gimbal dengan sendirinya. Berbagai penelitian untuk menyelidiki penyebabnya secara ilmiah belum membuahkan hasil.
Pada kesehariannya anak-anak ini tidak berbeda dan tidak diperlakukan spesial dibandingkan teman-teman sebayanya. Hanya saja mereka cenderung lebih aktif, kuat dan agak nakal. Apabila bermain dengan sesama anak gimbal, pertengkaran cenderung sering terjadi antara mereka. Warga Dieng percaya bahwa mereka ini adalah keturunan dari pepunden atau leluhur pendiri Dieng dan ada makhluk gaib yang "menghuni" dan "menjaga" rambut gimbal ini.
Gimbal bukanlah genetik yang bisa diwariskan secara turun temurun. Dengan kata lain, tidak ada seorangpun yang tahu kapan dan siapa anak yang akan menerima anugerah ini. Konon leluhur pendiri Dieng, Ki Ageng Kaladite pernah berpesan agar masyarakat benar-benar menjaga dan merawat anak yang memiliki rambut gimbal.
Rambut gimbal tidak akan selamanya berada di kepala si anak gimbal. Melalui sebuah prosesi, rambut ini harus dipotong karena ada kepercayaan bahwa jika dibiarkan hingga remaja maka akan membawa musibah bagi si anak dan keluarganya. Prosesi pemotongan tidak boleh sembarangan. Anak gimbal sendiri yang menentukan waktunya. Jika dia belum meminta, maka gimbal akan terus tumbuh walaupun dipotong berkali-kali. Selain ritual-ritual yang harus dilakukan, sang orang tua juga harus memenuhi permintaan anaknya. Apapun permintaan mereka, seaneh dan sesulit apapun, harus disediakan pada saat prosesi pemotongan rambut. Ada-ada saja yang diinginkan oleh mereka. Dari yang wajar seperti sepeda atau sepasang ayam, yang aneh seperti sebumbung kentut, hingga yang sulit dipenuhi seperti satu truk sapi atau mobil sedan.

Kamis, 20 November 2014

MANDIRAJA PUNYA SUMUR JALATUNDA

Selama ini yang banyak orang tahu, sumur Jalatunda adanya hanya di Dataran Tinggi Dieng. Ternyata itu salah, karena di daerah Mandiraja, Banjarnegara ada juga sumur yang bernama sumur Jalatunda. Sumur Jalatunda berlokasi di Desa Jalatunda Kecamatan Mandiraja Kabupaten Banjarnegara. Konon, Sumur Jalatunda ini telah ada jauh bahkan sebelum Desa Jalatunda berdiri. 
Dahulu kala, datang seorang kerabat Presiden Indonesia pertama Ir Soukarno ke sumur tersebut. Beliau membawa sebuah kitab atau buku kuna yang katanya bernama kitab Jayabaya. Dalam kitab tersebut menunjukan bahwa lokasi tempat sumur tersebut berada bernama sumur Jalatunda yang sebenarnya atau yang asli. Bukan ditempat lain seperti di daerah Dieng atau tempat-tempat lain. Dari cerita tersebut, lokasi keberadaan sumur tersebut diberi nama Desa Jalatunda.
Menurut penuturan dari Bapak Miharja atau dikenal juga dengan nama Bapak Miran selaku juru kunci dan tetua desa, sumur Jalatunda tersebut dijaga oleh dua orang makhluk, yang pertama bernama Suwandi Geni Manglungkusuma, sementara yang kedua bernama si Abang. Si Abang ini berwujud Macan Putih.
Setiap tahunnya, tepatnya setiap hari senin lagi dibulan Sura atau yang dalam kalender Hijriah dinamakan bulan Muharram dilaksanakan semacam upacara tradisi. Upacara tradisi tersebut selalu dihadiri oleh banyak pengunjung dari berbagai kota di Indonesia, serta dari berbagai macam profesi dari mulai pengusaha, petani, pejabat, politisi, dan lain-lain. Para pengunjung tersebut banyak yang percaya bahwa sumur Jalatunda bisa dijadikan lantaran hajatnya bisa dikabulkan oleh Tuhan YME.

Rabu, 05 November 2014

JEJAK KI AGENG SELAMANIK

Menurut kisah, Ki Ageng Selamanik adalah seorang mantan komandan perang Pangeran Diponegoro yang sangat setia serta cinta kepada bumi, tanah air, dan bangsanya. Beliau tidak mau hidup dalam pelukan penjajah Belanda. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Kompeni, lalu Ki Ageng Selamanik meneruskan perjuangan Pangeran Diponegoro dengan menghimpun para pemuda untuk dididikagama dan beladiri.
Makam Ki Ageng Selamanik
Mendengar kegiatan Ki Ageng Selamanik tersebut, Kompeni merasa gerah. Maka dari itu, Kompeni beberapa kali mengirim utusannya untuk menangkap Ki Ageng Selamanik. Namun selalu saja dibarengi dengan kegagalan.
Merasa mengalami kesulitan, akhirnya Kompeni mengadakan sayembara, barang siapa yang dapat menangkap Ki Ageng Selamanik akan diberi hadiah uang. Ada yang mengajukan diri dan merasa sanggup, dia bernama Jugil Awar-Awar, kebetulan orang tersebut mengenal Ki Ageng Selamanik karena pernah bertapa bersamaan waktu dan tempatnya di puncak gunung Sumbing. Adapun bedanya, Ki Ageng Selamanik bertapa untuk keperluan positif, sementara Jugil Awar-Awar bertapa untuk keperluan negatif.

Minggu, 02 November 2014

ASAL-USUL DESA GUMELEM


Gerbang Menuju Girilangan Diatas Bukit
Terbentuknya Desa Gumelem Wetan dan Desa Gumelem Kulon adalah sebuah rentetan sejarah yang sangat panjang dari sebelum Sutawijaya menjadi Raja di Kerajaan Mataram hingga Kerajaan Mataram Islam mengalami kejayaan. Di masa Kerajaan Mataram, beberapa momentum penting yang terkait dengan berdirinya / terbentuknya Desa Gumelem dapat di kisahkan dalam Kisah Dwegan Klapa Ijo dan Perdikan Gumelem.

I.         KISAH DWEGAN KLAPA IJO
Asal muasal Gumelem berawal dari sebuah peristiwa yang dilakoni oleh dua orang kakak beradik yaitu Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Giring (Juru Mertani). Konon di Abad ke XIV, sewaktu Ki Ageng Giring sedang berladang, beliau mendengar suara gaib yang mengatakan  siapa yang meminum dwegan klapa ijo yang dipetiknya diladang dengan sekali habis, maka anak turunanya akan menjadi raja-raja di tanah Jawa. Namun, merasa dirinya belum merasa haus, kelapa muda yang baru dipetiknya itu diparas dulu dan disimpan di rumah di atas “ Para “ .
Selesai  melakukan aktivitas bertani, Ki Ageng Giring pulang ke rumah dan melihat Dwegan Klapa ijo nya sedang di minum Ki Ageng Pamanahan, melihat peristiwa itu, Ki Ageng Giring hanya mengatakan sesuatu kalimat yang mengandung maksud sudah menjadi keberuntungan Ki Ageng Pamanahan dan keturunan – keturunanya.
Apa yang menjadi keyakinan Ki Ageng Giring terhadap Air Kelapa Muda diatas ternyata terbukti. Tahun 1600-an anak dari Ki Ageng Pamanahan yang bernama Sutawijaya menjadi Raja Mataram. Dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alogo Sayidin Panoto Gomo. Dan salah satu istrinya bernama Nawangsasi (anak  Ki  Ageng Giring) hingga mempunyai anak yang bernama Jaka Umbaran