Senin, 30 Maret 2015

LEGENDA ARSA MOLAH

Petak Tanah yang Dinamakan Arsa Molah
Di desa Kaliwinasuh tepatnya di dusun Kaliwinasuh terdapat suatu lokasi yang dikeramatkan warga. Lokasinya ada ditengah-tengah perkampungan warga, tepatnya disebuah kebun. Di lokasi tersebut tidak terdapat apapun, hanya ada tanah lapang yang ditumbuhi beberapa tanaman biasa dan berukuran kurang lebih 3x4 meter.
Konon tempat tersebut sering digunakan warga untuk bertapa sebagai lantaran memohon hajat kepada Tuhan YME. Kebanyakan dari para pertapa adalah memohon untuk dimudahkannya panen sawah yang dikerjakannya.
Menurut penuturan Ki Kuswadi yang kebetulan rumahnya tepat berada di samping lokasi yang dikeramatkan tersebut, tempat itu diberi nama Arsa Molah. Tidak ada sumber tertulis tentang penamaan Arsa Molah tersebut, yang ada hanya cerita dari mulut ke mulut secara turun temurun.

Selasa, 24 Maret 2015

BERKENALAN DENGAN SITUS LIYANGAN TEMANGGUNG

Salah satu candi di Situs Liyangan
Siang itu, saya beserta teman-teman ditemani Balai Arkeologi Yogyakarta berkesempatan berkenalan dengan sebuah situs cagar budaya di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Lokasi situs tersebut tepatnya berada di Dusun Liyangan Desa Purbasari Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung.
Situs Liyangan, begitu Balai Arkeologi memberikan nama kepada lokasi tersebut, dengan merujuk pada nama dusun tempat ditemukannya situs tersebut. Lokasinya kurang lebih berjarak 20 km ke arah barat laut dari pusat Kota Temanggung dengan ketinggian 1.200 meter di lereng Gunung Sindoro.
Untuk menuju lokasi situs tersebut, dari Yogyakarta, kami pergi menuju ke arah Temanggung dengan menggunakan mobil. Perjalanan ke Temanggung ditempuh kurang lebih selama 3 jam. Dari pusat kota Temanggung, perjalanan dilanjutkan menuju arah Kecamatan Parakan. Dari Parakan dilanjutkan perjalanan menyusuri jalan utama jalur yang menuju ke Weleri, Kendal. Kemudian sampai di Ngadirejo, ambil arah jalan lingkar Ngadirejo. Tiba di perempatan, ambil arah Jumprit, lurus terus sampai menemukan gapura bertuliskan dusun Liyangan Desa Purbosari. Setelah itu, masuk saja melalui gerbang desa menuju permukiman warga, dari pemukiman warga, lurus saja terus melalui jalan bebatuan sampai masuk area persawahan, dan sampailah ke lokasi Situs Liyangan.

Kamis, 19 Maret 2015

BERBALIK



“Maaf mas, mas tahu siapa aku? Aku pacarnya Ana, Mas, jadi tolong jangan ganggu hubungan kami,” pesan singkat itu Afa kirimkan ke Awan yang kata orang-orang kemana-mana selalu berdua sama Ana yang notabene merupakan pacar Afa.
Tak butuh waktu lama, sms balasan datang. “Maaf mas, aku kira mas kakaknya Ana, kita udah pacaran mas.”
Dari balasan itu jelas, Ana ternyata pacaran lagi dengan Awan. Hancur berkeping-keping hati Afa. Ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
***
Kurang lebih satu tahun setelah peristiwa itu, Afa bertekad untuk tidak terlalu berlarut-larut dalam kegalauan. Ia mau mulai membuka hati untuk wanita lain.
Statusnya yang jomblo sering jadi bahan ledekan teman-teman kuliahnya. Maklum setahun sejak masuk dunia perkuliahan, dimata teman-temannya Afa selalu terlihat murung dan tak pernah sekalipun menggandeng cewek.
***
Bak gayung bersambut, iseng-iseng Afa membuka obrolan di BBM dengan salah seorang teman SMA-nya bernama Tika. Di BBM, status-status Tika terlihat tak pernah bahagia, lewat status-status BBM-nya ia terlihat murung dan galau.
Awal obrolan terlihat biasa, malah cenderung Tika menutupi apa yang sedang ia rasakan. Mungkin karena lama sudah tidak bertemu sejak lulus SMA, jadi Tika merasa aneh saja kalau tiba-tiba ia menceritakan segala sesuatu yang sedang ia rasakan kepada Afa.

Jumat, 13 Maret 2015

MAKAM BOGEM SALAMERTA

Cungkup Makam Bogem
Makam Bogem merupakan makam Dewi Nawangsasi ada juga yang menyebutnya Dewi Nawangwulan. Dewi Nawangsasi adalah anak dari Ki Ageng Giring yang makamnya ada di desa Gumelem Wetan kecamatan Susukan. Dewi Nawangsasi merupakan mantan istri dari penguasa Kerajaan Mataram Islam yang diusir oleh rajanya, Sutawijaya (bergelar Panembahan Senopati) yang kemudian berputra Jaka Umbaran.
Ketika Jaka Umbaran beranjak dewasa, dia diutus oleh Ki Ageng Giring untuk pergi menemui ayahandanya di ibu kota Mataram dan mengabarkan kepada mereka bahwa Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi telah meninggal.
Waktu terus berlalu, usiapun kian bertambah. Sementara hati nurani seorang ibu yang ditinggal anaknya pergi menjadikan rasa kangen yang tidak bisa terbendung lagi. Tapi untuk datang ke Ibu Kota Kerajaan Mataram dipikirnya sungguh nista, apalagi Sutawijaya telah mengetahui kalau Dewi Nawangsasi dan Ki Ageng Giring sudah mati. Sehingga sangat tidak mungkin kalau dirinya harus datang ke Kerajaan Mataram.
Dipendamlah rasa rindu kepada anak semata wayang yang tentunya kala itu sudah beranjak dewasa. Hingga akhirnya suatu hari Dewi Nawangsasi berpamitan kepada ayahnya untuk bertapa menyepi di dalam hutan. Ki Ageng Giring pun mengizinkan karena sejatinya diapun mengetahui perasaan anaknya.

Rabu, 11 Maret 2015

PINATA TINATA

Kondisi Sumur Pinata Tinata Memprihatinkan
Pinata Tinata adalah nama sebuah sumur tua yang dikramatkan warga. Lokasinya ada di Dusun Buaran Desa Kaliwinasuh Kecamatan Purwareja-Klampok. Menurut cerita warga sekitar, dulunya sumur Pinata Tinata sangat terkenal karena mempunyai sumber air yang bersih dan jernih. Bahkan disaat musim kemaraupun sumber air di sumur tersebut tidak pernah berkurang. Tidak ditemukan sumber tertulis tentang penamaan sumur Pinata Tinata tersebut, warga sekitar hanya tahu dari mulut ke mulut bahwa lokasi tempat sumur tersebut dinamakan sumur Pinata Tinata.
Menurut warga sekitar lagi, orang dulu percaya bahwa sumur Pinata Tinata adalah salah satu dari 7 sumur yang airnya dijadikan syarat kekebelan seorang pemain ebeg / kuda lumping. Jadi ada kepercayaan diantara para pemain kuda lumping, bahwa untuk mendapatkan kekuatan atau kekebalan tubuh, seseorang pemain kuda lumping harus mandi di 7 sumur kramat yang salah satu diantaranya adalah sumur Pinata Tinata tersebut. Atas dasar kepercayaan tersebut, dulu sering dijumpai orang dari luar desa bahkan ada yang dari luar kota datang ke sumur Pinata Tinata untuk mandi bahkan sampai ada yang menginap untuk bertapa dengan mengharapkan kekuatan yang lebih banyak lagi.

Selasa, 10 Maret 2015

JEJAK SUNAN GRIPIT


Makam Sunan Gripit
  Sunan Gripit merupakan anak ketiga dari istri keempat Sunan Giri Gajah dari Gresik. Sunan Gripit punya nama asli Syekh Abdul Khodir Zaelani. Bersama kedua saudaranya yaitu Sunan Giri Wasiyat dan Nyai Sekati, beliau mengembara ke arah barat untuk menyebarkan agama islam. Dalam menyebarkan agama islam, mereka bertiga berpisah namun masih disekitaran daerah Banjarnegara.
Dalam perjalanannya ke arah barat, Sunan Gripit singgah disebuah daerah yang bentuk tanahnya berbanjar-banjar. Tetapi dalam persinggahan tersebut Sunan Gripit bingung harus menuju kemana untuk pergi ke Linggar Salira (tempat yang nyaman), dalam kebingungan tersebut Sunan Gripit termangu-mangu memikirkannya sampai beberapa hari. Sampai akhirnya beliau memutuskan untuk pergi menuju tempat yang sekarang bernama desa Gripit.
Sebelum Sunan Gripit pergi ke desa Gripit, Beliau berpesan jika daerah yang digunakan untuk singgah tersebut kelak diberi nama Banjarmangu. Diberi nama Banjarmangu karena tanahnya yang berbanjar-banjar dan disitulah Beliau termangu-mangu memikirkan untuk harus pergi kemana. Dan pada akhirnya berdirilah Banjarmangu yang menjadi selanjutnya menjadi Kadipaten yang merupakan cikal bakal berdirinya Kabupaten Banjarnegara yang sekarang.

Senin, 02 Maret 2015

ADIPATI ANOM DAN CERITA DIBALIK NAMA DESA ADIPASIR

Cungkup Makam Adipati Anom
Adipasir merupakan salah satu nama desa di Kecamatan Rakit Kabupaten Banjarnegara. Di desa ini terdapat satu makam kuno yang konon merupakan makam seseorang bernama Adipati Anom.
Diceritakan dalam Babad Adipasir, Adipati Anom merupakan salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro di  kerajaan Mataram. Kala itu saat terjadi perang besar-besaran di bumi Mataram antara warga pribumi melawan penjajah Belanda, Adipati Anom dengan istrinya bersama dengan keempat sahabatnya pergi meninggalkan Mataram untuk mencari keselamatan. Keempat sahabatnya tersebut bernama Tumenggung Suradipraya, Kyai Bunut, Eyang Jlantah, dan Kyai Budug.
Ditengah perjalanan pelariannya, Adipati Anom dan istri terpisah dengan keempat sahabatnya. Agar tidak terpisah terlalu jauh dan kehilangan jejaknya, keempat sahabat Adipati Anom tersebut menghentikan pelariannya dan mendirikan tenda disuatu lokasi. Di tenda tersebut pula keempat sahabat tersebut membuat rencana untuk kembali menyerang para penjajah Belanda yang telah membuat kekacauan di bumi Mataram.